BERDIRINYA KESULTANAN LINGGA
Mulanya pulau yang diberi nama Lingga ini diperintah oleh seorang pemimpin melayu yang sangat terkenal piawai bertempur terutama dilaut bernama Datuk Megat Kuning Putra dari Datuk Megat Merah Mata yang menurut kisah setempat berasal dari Pangkalan Lama di Jambi. Pada awal abad 18 Sultan Mahmud Syah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Johor – Riau ke Daik, Sang Datuk diberi gelar Orang Kaya Temenggung dan bermastautin di Mepar sebagai tempat pegangannya.
Sultan Mahmud Syah yang dulu nya tempat puspersemayaman at pemerintahan nya di Hulu Riau ( Riau Lama ) pindah ke Lingga 1787. Sementara tempat kedudukan Yam Tuan Yang Dipertuan Muda juga dipindahkan ke Pulau Penyengat tahun 1787 itu juga. Pindahnya Sultan Mahmud Syahdan kerabat Diraja dengan angkatan sebanyak 200 buah perahu ke Lingga, maka bendahara Tun Abdul Majid dengan angkatannya sebanyak 150 buah perahu meninggalkan Hulu Riau ke Pahang mewakili Sultan Lingga di Pahang.
Sejak tahun itulah (1787) ramailah orang melayu meninggalkan Hulu Riau pindah ke tempat lain yakni ke Selangor, Terengganu, Selat ( Singapura ) Pulau Bulang, Batam, Karimun, Kalimantan dan pulau-pulau Kepulauan Lingga, Senayang, Singkep dan Kepulauan Riau. Sedangkan Pulau Bulang dekat Pulau Batam ditempatkan seorang Temenggung Datuk Abdul Jamal yang diserahi memegang kuasa di Johor, Singapura dan Pulau lainnya. Pulau Bulang juga ditempatkan sebagai armada angkutan laut kerajaan.
Di penghujung 1615 dengan persetujuan Sultan Acheh, ipar dari Raja Abdullah telah dilantik Sultan Johor ke VII, baginda diberi gelar Sultan Abdullah Ma’ayat Syah. Sultan Ma’ayat Syah memindahkan pusat kerajaan Johor di Batu Sawar ke Pulau Lingga. Namun pada tahun 1623 negeri Johor di Pulau Lingga di serang sehingga Sultan Ma’ayat syah terpaksa meninggalkan Lingga dan memilih Pulau Tambelan sebagai tempat persemayamannya yang baru. Tak lama kemudian pada bulan Maret 1623 Sultan Abdullah mangkat dan disebut Marhum Tambalan.
Keberadaan orang Cina zaman Kesultanan Lingga berkaitan erat dengan sejarah, dapat di kutip dari sejarah asli Johor dan Pahang. Dimana penulis-penulis dari Cina ikut andil merumuskan keberadaan Kerajaan Johor-Pahang-Riau dan Lingga. Sultan Mahmud memerintah semua pentabdiran negeri. Dalam menangani pemerintah diserah tugaskan kepada wakilnya yaitu di Pahang diwakilkan kepada Datuk Bendahara, di kawasan Johor-Singapura dan sekitarnya diwakilkan pada Datuk Temenggung yang bermestautin di Pulau Bulang dekat Batam, sebagai pegangannya khusus di Riau diserahkan kepada Yang Dipertuan Muda ( Yam Tuan ) dengan Pulau Penyengat pusat perwakilan Sultan Lingga.
Pahang termasuk daerah taklukan Kesultanan Johor. Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga adalah sebuah Kesultanan Diraja satu perahu dua nakhoda yakni yang memerintah Sultan dan Yam Tuan ( Yang Dipertuan Muda).
BERAHIRNYA KESULTANAN LINGGA
Melihat perkembangan Lingga lebih kurang 120 tahun diperintah oleh Sultan yang berasal dari kerajaan Johor, Belanda yang berada di Riau-Tanjung Pinang pun mengambil alinya sehingga menyebabkan kekuasan Sultan semakin sempit dan akhirnya Sultan Lingga terahir Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah memindahkan pusat kerajaan Lingga Riau ke Pulau Penyengat pada tahun 1900 setelah lembaga Yang Dipertuan Muda dihapuskan.
Pada Kongres Wina tahun 1815 ditegaskan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali jajahan Belanda termasuk Melaka dan Riau yang dikuasai Inggris sejak tahun 1795.
Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Batavia tetap menduduki Bengkulu sedangkan Malaka dan Riau baru dikembalikan pada Belanda tahun 1816. Tanggal 29 Januari 1819 Reffles sampai di Singapura dan Tanggal 30 Januari 1819 membuat perjanjian dengan Temenggung Abdul Rahman yang mengizinkan Inggris untuk membangun Loji dan pada 6 Pebruari 1819 berhasil menobatkan Tengku Husin menjadi Sultan Johor-Singapura.
Perjanjian antara Reffles dengan Tengku Husin tentang oleh Belanda karena Singapura adalah adalah Wilayah Kesultanan Melayu Lingga-Riau yang diperintah oleh Sultan Abdurrachman ( saudara Tengku Husin ). Persengketaan antara Inggris dan Belanda dalam usaha perebutan pengaruh di Kesultanan Melayu Lingga-Riau diselesaikan dengan perjanjian yang dikenal dengan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824 yang isinya antara lain Belanda tak mencampur segala urusan Inggris di Semenanjung Melayu.
Isi dari Traktat London itu ialah daerah kesultanan dibagi dua :
1. Bagian utara yang sebelumnya adalah bagian Kesultanan Melayu Lingga-Riau menjadi wilayah Kesultanan Melayu Johor.
2. Bagian Selatan yaitu pulau-pulau Lingga-Singkep dan Riau serta beberapa daerah lainnya tetap berada dalam Kesultanan Melayu Lingga – Riau. Daerah – daerah inilah yang terus dibina dan dikembangkan sebagai usaha mempertahankan keberadaan suku bangsa Melayu – Riau.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdurrachman ( 1824 – 1832 ) ditanda tangani perjanjian yang berisi pengakuan tentang kekuasaan tertinggi berada ditangan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Muzzaffar Syah ( 1834 – 1857 ) karena tak mengacuhkan perjanjian dengan Belanda dan tak sungguh – sungguh menumpas orang-orang laut, dimakzulkan dari jabatan pada tanggal 23 September Gubernur Jenderal Belanda dan penggantinya dipilih Tengku Sulaiman dan dilantik tanggal 10 Oktober 1857 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ( 1857 – 1883 ).
Sebagai pengganti Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dilantiklah Raja Abdul Rahman Putera Yamtuan Muda ke X Riau Muhammad Yusuf Al – Ahmadi dengan Tengku Embung Fatimah Binti Sulaiman Mahmud Muzzaffar Syah Marhum Mangkat di Pahang dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muzzaffar Syah. Sultan Riau – Lingga yang terahir memerintah dari tahun 1883 – 1912 dengan pusat pemerintahan di Negeri Daik sampai tahun semenjak meninggal Yamtuan Muda Riau yang ke X Raja Muhammad Yusuf tahun 1899.
Pada tahun itu Lembaga Yang Dipertuan Muda dihapus, maka tinggallah Sultan yang memerintah negeri Riau-Lingga. Maka pusat pemerintahan Riau Lingga di pindahkan dari Daik ke Pulau Penyengat dari tahun 1900 – 1912. Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf tinggal di Riau ditempatnya memerintah.
Raja Muhammad Yusuf Al – Ahmadi Mangkat di Daik dan dimakamkan di Damnah dan dikenal dengan nama Marhum Damnah. Selepas tahun 1912 kerajaan Riau – Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat dibubarkan oleh Kerajaan Belanda. Semenjak itu Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah beserta keluarganya pindah ke Singapura dan bertempat tinggal disana.
Berpindahnya Sang Sultan ke Singapura maka berahirlah kesultanan Lingga yang berada di Daik yang menjadi pusat pemerintahan Melayu. Baginda mangkat diperkirakan pada tahun 1930 dan dimakamkan di Singapura.